Islam tak pernah menganggap taubat sebagai langkah terlambat. Kapanpun kesadaran itu muncul, Allah tetap menerimanya, selama nafas masih menempel di badan. Hisab (perhitungan) akan amal-amal buruk kita di mata Allah akan segera terhapus dengan taubat kita yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha).
Kata Nabi, “Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.” (H.R. Muslim)
Hanya saja dalam Islam, menyangkut taubat ada kaidah dan adab-adabnya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: Pertama, meninggalkan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, bertekad tidak akan melakukannya kembali.
Taubat adalah sebuah kata yang sangat sederhana, akan tetapi tindakan ke arahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak orang yang menginginkan segera mengakhiri segala tindak dosanya, akan tetapi akibat balutan nodanya demikian pekat, selalu saja mengalami kegagalan untuk bertaubat. Hanya mereka yang punya tekad kuat dan yang dapat petunjuk dari Allah yang segera melangkahkan kaki menuju taubat.
Setiap manusia, pada dasarnya tidak akan terlepas dari perbuatan dosa. Sayangnya terkadang di antara tumpukan dosa itu—seseorang merasa bahwa semuanya sudah terlambat untuk dibersihkan atau dihilangkan.
Perasaan seperti ini jelas keliru. Hal itu termasuk Al Khabair, yakni satu di antara puluhan dosa besar, yakni berputus asa dari rahmat Allah SWT.
Jangan sampai hal seperti ini dibiarkan terus.Syetan akan memanfaatkan kondisi setengah putus asa hingga bener-benar putus asa seperti ini, untuk terus mendorong kita semakin terjerumus dalam bujuk rayunya.
Allah SWt berfirman, "…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al Baqarah: 168). Lebih lanjut Allah menjelaskan: “Barangsiapa yang mengikuti langkah-lanngkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan yang keji dan yang munkar.” (QS.24: 21)
Sebagai akibat dari sikap mengikuti syetan ini, kemudian melahirkan sikap lain, yaitu: “ semuanya sudah terlanjur atau nasi sudah menjadi bubur” dan perasaan lain seolah semua dosanya itu tidak akan ada lagi ampunan. Orang yang membiarkan dirinya ada dalam suasana seperti ini akan terus tercampakkan dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan yang semakin jauh dan dalam. Tentu sikap seperti ini berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan.
Dengan disyari’atkannya prinsip taubat, maka dapat dijelaskan bahwa syariat taubat merupakan bentuk rahmat Allah yang tak terhingga untuk ummat manusia. Al-Qur’an menjelaskan keutamaan taubat ini. Agar jiwa manusia kembali kepada jalan kesucian.
Dengan sedar dirinya sedang berburu dengan waktu dan usia, maka orang yang bertaubat secara benar dan sedar (taubatan nashuha), akan mengisi hidupnya dari kebaikan ke kebaikan. Ketika jalan itu sudah dipilih kemudian tergelincir (kembali) dalam perbuatan dosa, maka dia juga segera kembali jalan Allah.
Karenanya, tak ada alasan lagi untuk kembali ke hadapan Nya dengan penuh permohonan ampun. Sebab, ampunan Allah maha luas, tak peduli seberapa besar dan beratnya dosa yang dimiliki manusia.
Ibaratnya, jika seseorang telah melakukan kemaksiatan seluas lautan, maka ampunan Allah melebih luas langit dan bumi.
“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan Surga yang luasnya seluas langit danbumi, disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran:133)
“Hidupku sudah bergelimang dosa dan maksiat, lebih baik aku jalani saja apa adanya, “ demikian sering kita dengar dari sebagian para pelaku maksiat.
Banyak para pelaku maksiat merasakan hidup seperti memakan buah simalakama. Dimakan kena gak dimakan tetap juga kena. Akhirnya, mereka tetap berkatifitas dan melakukan kemaksiatan dan keburukan. Contoh seperti ini sesungguhnya sebuah gambaran orang-orang yang putus harapan. Seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi.
Tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lanjut bergaya bak anak muda. Umur sudah mendekati ajal, namun gaya tak ketulungan. Meski sudah keriput, maksiat tetap tak surut. Rambut dikuncir, telinga pakai anting, dan semua tangannya pakai tato. Tua-tua keladi, ujar pepatah. Makin tua makin menjadi-jadi. Bukan insaf tapi malah terus bermaksiat.
Sebaliknya, jika yang tua makin menjadi-jadi, yang muda justru tak memiliki hati. Mereka tahu apa yang dilakukan itu kurang baik dan merugikan, tetap saja menutup mata dan hatinya hanya untuk terus memperkokoh dahaga nafsunya. “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati masuk Surga, “. Slogan ini awalnya hanya gurauan yang ditempel di stiker-stiker bahkan digunakan jadi T-Sirt. Namun, sesungguhnya saat ini banyak dijadikan modal dan spirit kaum muda.
Dengan memasuki masa remaja, mereka seolah punya tiket untuk bisa bersenang-senang dan berbuat apasaja. Dan seringkali pula para orangtua memberikan legitimasi. “Mumpung masih muda, berbuatlah sesukamu,” begitu katanya.
Bagaimana mungkin, hanya dengan foya-foya, tanpa amalan sholeh orang bisa masuk surga? sungguh sangatlah mustahil.
Banyak orang mengaku sulit untuk melakukan kebaikan. Karenanya ia merasa akan terus berbuat keburukan dan bermaksiat. “Ya, saya sudah tahu ini keliru, tapi masih belum siap melakukannya, “ bagitu jawabnya.
Padahal, memulai kebaikan tidak perlu menunggu waktu dan tidak perlu menunggu orang banyak. Cukup mulailah dari hati dan niatkan. Jika masih malu dilihat orang, bersembunyilah untuk melakukan kebaikan sampai suatu saat siap waktunya. Sebab, tanpa memulai rasanya mustahil. Seharusnya, para pelaku kebaikan memegang prinstip, “Kalau bisa dimulai saat ini, kenapa harus menunggu sampai nanti?. Sebab, belum tentu esok hari umur kita masih ada.”
Rasulullah sangat berhati-hati dalam masalah ini. Beliau mengingatkan arti penting memanfaatkan waktu yang dimiliki tiap manusia, bahkan di saat manusia menginjak usia belia.
Dalam haditsnya, Rasulullah mengatakan, “Wahai remaja, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan menjaga kamu, peliharalah (hukum-hukam) Allah niscaya Allah akan bersama kamu, jika kamu memohon sesuatu maka mohonlah kepada Allah”. [Hadis Hasan Sahih riwayat Imam Tarmizi]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Rasulullah juga bersabda, “ Sekali-kali tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba (manusia) pada Hari Kiamat nanti sehingga kepadanya ditanya tentang empat perkara: Pertama, kemana umurnya dia habiskan. Kedua, ke mana masa mudanya dia pergunakan. Ketiga, ke mana harta-bendanya ia belanjakan. Keempat, ke mana ilmunya diamalkan.” [al-hadits]
Dipetik dari :MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA
Kata Nabi, “Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.” (H.R. Muslim)
Hanya saja dalam Islam, menyangkut taubat ada kaidah dan adab-adabnya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: Pertama, meninggalkan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, bertekad tidak akan melakukannya kembali.
Taubat adalah sebuah kata yang sangat sederhana, akan tetapi tindakan ke arahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak orang yang menginginkan segera mengakhiri segala tindak dosanya, akan tetapi akibat balutan nodanya demikian pekat, selalu saja mengalami kegagalan untuk bertaubat. Hanya mereka yang punya tekad kuat dan yang dapat petunjuk dari Allah yang segera melangkahkan kaki menuju taubat.
Setiap manusia, pada dasarnya tidak akan terlepas dari perbuatan dosa. Sayangnya terkadang di antara tumpukan dosa itu—seseorang merasa bahwa semuanya sudah terlambat untuk dibersihkan atau dihilangkan.
Perasaan seperti ini jelas keliru. Hal itu termasuk Al Khabair, yakni satu di antara puluhan dosa besar, yakni berputus asa dari rahmat Allah SWT.
Jangan sampai hal seperti ini dibiarkan terus.Syetan akan memanfaatkan kondisi setengah putus asa hingga bener-benar putus asa seperti ini, untuk terus mendorong kita semakin terjerumus dalam bujuk rayunya.
Allah SWt berfirman, "…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al Baqarah: 168). Lebih lanjut Allah menjelaskan: “Barangsiapa yang mengikuti langkah-lanngkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan yang keji dan yang munkar.” (QS.24: 21)
Sebagai akibat dari sikap mengikuti syetan ini, kemudian melahirkan sikap lain, yaitu: “ semuanya sudah terlanjur atau nasi sudah menjadi bubur” dan perasaan lain seolah semua dosanya itu tidak akan ada lagi ampunan. Orang yang membiarkan dirinya ada dalam suasana seperti ini akan terus tercampakkan dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan yang semakin jauh dan dalam. Tentu sikap seperti ini berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan.
Dengan disyari’atkannya prinsip taubat, maka dapat dijelaskan bahwa syariat taubat merupakan bentuk rahmat Allah yang tak terhingga untuk ummat manusia. Al-Qur’an menjelaskan keutamaan taubat ini. Agar jiwa manusia kembali kepada jalan kesucian.
Dengan sedar dirinya sedang berburu dengan waktu dan usia, maka orang yang bertaubat secara benar dan sedar (taubatan nashuha), akan mengisi hidupnya dari kebaikan ke kebaikan. Ketika jalan itu sudah dipilih kemudian tergelincir (kembali) dalam perbuatan dosa, maka dia juga segera kembali jalan Allah.
Karenanya, tak ada alasan lagi untuk kembali ke hadapan Nya dengan penuh permohonan ampun. Sebab, ampunan Allah maha luas, tak peduli seberapa besar dan beratnya dosa yang dimiliki manusia.
Ibaratnya, jika seseorang telah melakukan kemaksiatan seluas lautan, maka ampunan Allah melebih luas langit dan bumi.
“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan Surga yang luasnya seluas langit danbumi, disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran:133)
“Hidupku sudah bergelimang dosa dan maksiat, lebih baik aku jalani saja apa adanya, “ demikian sering kita dengar dari sebagian para pelaku maksiat.
Banyak para pelaku maksiat merasakan hidup seperti memakan buah simalakama. Dimakan kena gak dimakan tetap juga kena. Akhirnya, mereka tetap berkatifitas dan melakukan kemaksiatan dan keburukan. Contoh seperti ini sesungguhnya sebuah gambaran orang-orang yang putus harapan. Seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi.
Tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lanjut bergaya bak anak muda. Umur sudah mendekati ajal, namun gaya tak ketulungan. Meski sudah keriput, maksiat tetap tak surut. Rambut dikuncir, telinga pakai anting, dan semua tangannya pakai tato. Tua-tua keladi, ujar pepatah. Makin tua makin menjadi-jadi. Bukan insaf tapi malah terus bermaksiat.
Sebaliknya, jika yang tua makin menjadi-jadi, yang muda justru tak memiliki hati. Mereka tahu apa yang dilakukan itu kurang baik dan merugikan, tetap saja menutup mata dan hatinya hanya untuk terus memperkokoh dahaga nafsunya. “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati masuk Surga, “. Slogan ini awalnya hanya gurauan yang ditempel di stiker-stiker bahkan digunakan jadi T-Sirt. Namun, sesungguhnya saat ini banyak dijadikan modal dan spirit kaum muda.
Dengan memasuki masa remaja, mereka seolah punya tiket untuk bisa bersenang-senang dan berbuat apasaja. Dan seringkali pula para orangtua memberikan legitimasi. “Mumpung masih muda, berbuatlah sesukamu,” begitu katanya.
Bagaimana mungkin, hanya dengan foya-foya, tanpa amalan sholeh orang bisa masuk surga? sungguh sangatlah mustahil.
Banyak orang mengaku sulit untuk melakukan kebaikan. Karenanya ia merasa akan terus berbuat keburukan dan bermaksiat. “Ya, saya sudah tahu ini keliru, tapi masih belum siap melakukannya, “ bagitu jawabnya.
Padahal, memulai kebaikan tidak perlu menunggu waktu dan tidak perlu menunggu orang banyak. Cukup mulailah dari hati dan niatkan. Jika masih malu dilihat orang, bersembunyilah untuk melakukan kebaikan sampai suatu saat siap waktunya. Sebab, tanpa memulai rasanya mustahil. Seharusnya, para pelaku kebaikan memegang prinstip, “Kalau bisa dimulai saat ini, kenapa harus menunggu sampai nanti?. Sebab, belum tentu esok hari umur kita masih ada.”
Rasulullah sangat berhati-hati dalam masalah ini. Beliau mengingatkan arti penting memanfaatkan waktu yang dimiliki tiap manusia, bahkan di saat manusia menginjak usia belia.
Dalam haditsnya, Rasulullah mengatakan, “Wahai remaja, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan menjaga kamu, peliharalah (hukum-hukam) Allah niscaya Allah akan bersama kamu, jika kamu memohon sesuatu maka mohonlah kepada Allah”. [Hadis Hasan Sahih riwayat Imam Tarmizi]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Rasulullah juga bersabda, “ Sekali-kali tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba (manusia) pada Hari Kiamat nanti sehingga kepadanya ditanya tentang empat perkara: Pertama, kemana umurnya dia habiskan. Kedua, ke mana masa mudanya dia pergunakan. Ketiga, ke mana harta-bendanya ia belanjakan. Keempat, ke mana ilmunya diamalkan.” [al-hadits]
Dipetik dari :MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA